Jumat, 09 Maret 2012

Thérèse Raquin

Synopsis:

One of Zola's most famous realistic novels, Therese Raquin is a clinically observed, sinister tale of adultery and murder among the lower classes in nineteenth-century Parisian society. Zola's shocking tale dispassionately dissects the motivations of his characters--mere "human beasts", who kill in order to satisfy their lust--and stands as a key manifesto of the French Naturalist movement, of which the author was the founding father.


My Review:

Kalau ada satu hal yang paling rumit di dunia dan tak pernah bisa dipahami, pasti itu adalah manusia. Pepatah mengatakan, dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa tahu. Mungkin karena itulah, psikologi adalah salah satu hal yang selalu menarik minatku, meski aku tak pernah mempelajarinya secara serius di bangku kuliah. Yang paling menakjubkan bagiku adalah bagaimana manusia memutuskan untuk berbuat jahat, yang jelas-jelas melawan kodratnya; dan bagaimana ia melawan hati nuraninya setelah melakukannya. Émile Zola benar-benar memukauku dengan caranya membuat sebuah pergulatan batin menjadi gamblang, lewat karyanya: Therese Raquin.

Therese Raquin bukanlah putri kandung Mme Raquin. Ia adalah keponakan yang diangkat menjadi anak oleh Mme Raquin, yang hidup menjanda di sebuah kota kecil di Prancis pada abad 19, bersama dengan putra semata wayangnya: Camille. Dari lahir Camille adalah bocah lembek yang sakit-sakitan. Hal itu diperparah oleh cara sang ibu membesarkannya, yaitu dalam pemanjaan sekaligus pemujaan. Camille pun terbiasa dicekoki oleh obat dan ramuan, dan dikurung di rumah yang gelap dan suram.

Mau tak mau, Therese harus menerima perlakuan yang sama dari ibu angkatnya, meski ia sebenarnya adalah gadis yang sehat walafiat. Dan lihatlah apa yang terjadi…

Kehidupan orang sakit yang dipaksakan terhadap dirinya membuatnya menjadi orang yang tertutup. Ia menjadi terbiasa berbicara dengan suara lirih, berjalan tanpa suara, duduk diam dan tak bergerak-gerak di kursi, memandang kosong dengan mata membelalak lebar. ~hlm. 26.
Therese akhirnya tumbuh sebagai gadis pemurung, acuh, namun di dalam dirinya ada semacam api yang menggelegak, bak gunung berapi yang sedang menggodok magmanya sebelum pada suatu saat yang tepat menyemburkannya dalam sebuah ledakan besar.

Keegoisan Mme Raquin membuatnya mengambil keputusan untuk menikahkan Therese dan Camille. Sesudah itu, keluarga yang aneh inipun pindah ke Paris, dan tinggal di rumah sekaligus toko alat jahitan yang suram di Passage (Selasar) du Pont Neuf. Camille yang suka mengajak teman-temannya singgah, suatu hari memboyong teman lamanya: Laurent. Saat melihat Laurent, Therese bagaikan tersihir. Tak seperti suaminya yang lembek dan berbau seperti anak kecil sakit-sakitan yang mebuat Therese jijik, Laurent terlihat benar-benar seperti seorang pria. Dalam diri Therese pelan-pelan tumbuh hasrat yang kuat yang, kupikir, merupakan pelampiasan atas keterkungkungan hidup wanita itu selama ini.

Di sisi lain, Laurent adalah jenis pria paling menyebalkan di dunia. Pria yang hanya mau bermalas-malasan dan mendewakan kenikmatan lewat makanan dan seks. Dan pria seperti ini lah yang melangkahkan kaki ke rumah keluarga Raquin dan menemukan wanita yang bisa memenuhi hasratnya: Therese. Tak butuh waktu lama, segera terjadilah perselingkuhan panas penuh gairah antara kedua manusia ini. Laurent dan Therese menemukan kenikmatan dalam perselingkuhan mereka, dan mulai timbul keinginan untuk melakukannya dengan bebas. Satu-satunya penghalang bagi keduanya untuk bersatu, adalah Camille. Tanpa perlu terucap, dosa perzinahan yang mereka lakukan mulai menggiring mereka ke dosa berikutnya.

Kisah di atas hanya memakan sepertiga dari keseluruhan buku ini. Dua pertiga sisanya dipenuhi oleh Zola dengan kajian psikologis Therese dan Laurent setelah melakukan kejahatan mereka. Dan di bagian-bagian inilah terletak kekuatan buku ini. Zola tak hendak hanya bertutur, ia sedang melakukan semacam analisa ilmiah. Bak seorang ilmuwan yang ingin mengamati reaksi tertentu yang timbul bila ia mencampurkan dua substansi berbeda, begitulah Zola menyajikan perubahan watak yang akan terjadi apabila dua insan manusia yang berbeda watak namun sama-sama labil dipertemukan oleh cinta. Dan ketika hasrat mereka tak terkekang, hasrat itu membawa mereka pada tindakan yang tak bermoral serta pengecut. Namun yang paling menarik, bagaimana reaksi watak mereka setelah tindak kejahatan yang sama-sama mereka lakukan itu.

Tubuh mereka menggeletarkan getaran-getaran yang sama, dan jantung meraka, yang membentuk semacam persatuan yang merana, berdebar-debar kencang gara-gara perasaan ngeri yang sama. Semenjak saat itu, mereka hanya mempunyai satu tubuh d
an satu jiwa untuk merasakan kenikmatan dan penderitaan. Kesamaan itu, perasaan menyatu itu bersifat kejiwaan dan merupakan fakta psikologis yang sering terjadi di antara orang-orang yang terperangkap bersama-sama gara-gara suatu ketegangan mental yang luar biasa. ~hlm. 166.

Seringkali manusia menggembar-gemborkan tentang kebebasan. Padahal tak ada kebebasan mutlak dalam kehidupan kita. Setiap tindakan kita membawa kita pada konsekuensi yang lain. Therese dan Laurent juga mendambakan kebebasan yang harusnya tak mereka miliki. Akibatnya, alih-alih merasa bebas, mereka justru menjadi budak dari konsekuensi tindakan mereka sendiri. Mengerikan bagaimana hati nurani manusia menghukum diri mereka sendiri dengan caranya sendiri pula. Pergulatan batin Therese dan Laurent begitu intens dan digambarkan dengan jelas dan detil oleh Zola hingga pembaca seolah turut mengalami mimpi-mimpi buruk mereka yang menyeret mereka ke ambang kegilaan.

Saat terbit, Therese Raquin mendapatkan kritikan bertubi-tubi dari para kritikus maupun sesama penulis, yang menganggap Therese Raquin mengumbar kejorokan dan kevulgaran. Dalam edisi kedua yang diterbitkan tahun 1868, Zola pun menulis pendahuluan untuk menjelaskan latar belakang di balik kisah Therese Raquin.

Seperti telah kuungkapkan di paragraf awal, aku menyukai telaah psikologis dalam kisah fiksi. Dua penulis terfavoritku: Agatha Christie dan John Grisham pernah menghasilkan buku-buku yang mengupas psikologi manusia saat menghadapi sesuatu. Christie dalam banyak novelnya, namun Tirai (Curtain) yang menjadi favoritku. Sedang Grisham lewat The Chamber (Kamar Gas). Namun keduanya belum apa-apa bila dibandingkan Therese Raquin.

Jujur, buku ini tergolong berat dan menguras emosi. Bukan jenis buku yang akan memberi hiburan, tapi jelas buku ini juga merupakan jenis buku yang takkan pernah anda lupakan. "Gema"nya akan terus memenuhi pikiran anda selama beberapa waktu lamanya setelah anda menutup buku ini. Bravo Émile Zola! Meski dulu banyak orang mencelamu, tapi aku yakin tak banyak orang lain yang mampu menghasilkan karya seperti ini. Tiga bintang untuk Therese Raquin!


Original cover:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar