Minggu, 01 April 2012

[Review] L'Assommoir

Zola called this (book) 'the first novel about the common people that does not lie'.

Dan memang benar, itulah yang kudapat setelah menamatkan buku setebal 440 halaman ini. L'Assommoir sendiri adalah kata dalam bahasa Prancis yang artinya 'rumah minum' atau dram shop dalam bahasa Inggrisnya. L'Assommoir ini banyak terdapat di jalanan kota Paris, terutama di distrik tempat kelas pekerja tinggal, di abad 19. Lewat L'Assommoir, Émile Zola ingin menunjukkan bagaimana kemiskinan dapat berakibat pada hidup kaum pekerja itu.

Gervaise adalah tokoh sentral di buku ini, seorang wanita muda yang cantik namun miskin. Di kamar sempit di sebuah hotel bobrok di pinggiran Paris, ia tinggal bersama kekasihnya—Lantier—yang malas dan kerjanya hanya bersenang-senang menghabiskan gaji Gervaise. Ketika Lantier akhirnya mencampakkan Gervaise, Gervaise pun terpaksa bekerja sebagai buruh cuci di sebuah 'rumah cuci' (laundress) untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya yang masih kecil. Beruntung bagi Gervaise, seorang tukang atap (roofer) jatuh cinta kepadanya. Dan setelah pendekatan yang tekun dan makan waktu lama, Gervaise pun akhirnya setuju menikah dengan si tukang atap yang bernama Coupeau.

Coupeau adalah pria yang ideal untuk seorang suami. Seorang pekerja yang berdedikasi dan mencintai pekerjaannya, juga seorang suami yang mencintai dan menghargai pendapat istrinya. Bahkan ketika Gervaise memimpikan membuka sendiri sebuah laundress di gedung bekas toko, Coupeau pun mendukungnya. Dengan tabungan ditambah pinjaman dari tetangga, akhirnya Gervaise menjadi pemilik sebuah laundress impiannya yang telah ia atur sedemikian rupa sehingga menjadi rumah cuci baru yang menarik penduduk di sekitarnya. Tak lama kemudian, laundress Gervaise mencapai sukses. Dan seperti biasa di pemukiman seperti itu, para tetangga mulai sirik akan keberhasilan Gervaise, terutama keluarga Lorilleux (Mme. Lorilleux adalah kakak Coupeau). Semua itu diperparah dengan sikap Gervaise dan Coupeau yang dengan amat kentara memamerkan kekayaan mereka dengan mengadakan pesta makan malam yang mewah (meski pun mereka harus menghabiskan tabungan demi membayar makanan dan anggur mewah).

Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Suatu hari, disaksikan Gervaise dan Nana—anak perempuan mereka—Coupeau terjatuh dari atap ketika sedang bekerja. Kecelakaan itu adalah awal malapetaka keluarga mereka. Terkurung di tempat tidur dan tak mampu bekerja, ternyata membuat Coupeau langsung terpuruk. Begitu ia sudah mampu berjalan, alih-alih mulai mencari pekerjaan, ia malah berjalan tak tentu arah dan akhirnya berbelok masuk ke rumah minum dan mulai menyukai minuman keras—hal yang dulu menjadi pantangannya sebagai tukang atap yang profesional dan menjadi kebanggaannya bahwa ia tak mempan terhadap godaan minuman keras. Dan karena Coupeau tak bekerja, tentu saja ia jajan minuman dari uang saku yang diberikan Gervaise. Di sinilah kesalahan awal Gervaise, karena ia begitu toleran dan percaya kepada suaminya, ia tenang-tenang saja ketika sang suami mulai suka minum-minum.

Gervaise laughed and shrugged her shoulders. What harm was there if her hubby was having a bit of fun? You shouldn’t keep your man on too tight a rein if you wanted peace at home. One thing led to another and before you knew it, you’d come to blows.” ~hlm. 137.

Sedikit demi sedikit, perlahan-lahan kebiasaan minum Coupeau bersama teman-temannya makin parah hingga akhirnya ia sama sekali berhenti bekerja. Hal itu mengakibatkan keuangan laundress carut-marut. Hutang mulai bertumpuk, para relasi mulai menjauh, dan akhirnya Gervaise dan laundressnya makin terpuruk. Satu hal yang turut mempercepat kejatuhannya adalah Lantier, sang kekasih lama yang kembali ke kehidupan keluarga Coupeau. Bukan dari Gervaise, namun justru undangan berasal dari Coupeau. Lantier si lintah itu akhirnya menempel dan menggerogoti rumah tangga mereka. Kalau itu belum cukup, anak perempuan mereka—Nana—yang karena kemiskinan dan pergaulan, akhirnya menjadi liar.

Hingga di sini, mungkin anda merasa tak asing dengan situasinya? Ya, kemiskinan memang selalu menghasilkan cerita nan serupa, di belahan bumi manapun, di abad berapapun. Di buku ini, secara khusus Zola memasukkan unsur minuman keras sebagai salah satu musuh para pekerja. Akibat nyata dari minuman keras ini pada tubuh manusia akan tergambar dengan sangat frontal pada diri Coupeau menjelang akhir buku. Membaca uraian Zola membuat siapa pun yang pernah minum minuman keras akan merasa ngeri!

Namun efek minuman keras ternyata tak hanya diderita oleh si peminum sendiri, namun juga keluarganya. Setelah menjadi peminum, perangai Coupeau berubah 180 derajat. Ia menjadi pemarah, picik, suka memukul Gervaise, dan tak lagi peduli pada dunia sekitar. Ia lah yang boleh dibilang menyeret seluruh keluarganya ke dalam kemiskinan yang paling rendah. Bahkan saat Gervaise yang kelaparan tak punya uang sepeserpun untuk makan, Coupeau malah menyuruh istrinya menjajakan dirinya sendiri di jalan kalau ia mau! Yang membuatku makin benci pada minuman keras, adalah para peminum cenderung mempengaruhi mereka yang masih sedikit memiliki akal sehat untuk tetap bekerja. Sudah berdosa, mereka menambah dosa dengan mengajak orang lain berdosa.

Pada akhirnya, nampak sangat jelas mengapa kemiskinan dan minuman keras seolah menjadi satu bagian yang terelakkan. Minuman keras adalah salah satu pelarian dari derita kemiskinan. Padahal hanya ada satu cara untuk berjuang melawan kemiskinan, yaitu dengan bekerja keras. Memang, meski sudah bekerja keras, banyak yang miskin tetap saja miskin. Tapi, bukankah meski miskin harta, mereka tetap kaya dalam hal moral? Banyak orang miskin yang akhirnya menjadi makin terpuruk karena tak mau berjuang, dan akhirnya menyalahkan nasib, pemerintah, orang lain, bahkan Tuhan.

Yes, they’d only themselves to blame if they sank lower every season. But you don’t ever admit things like that to yourself, especially not when you’re down in the gutter.” ~hlm. 324.

Kodrat manusia memang menghindari penderitaan, namun bukan berarti lari dari kenyataan membuat hidup lebih baik. Tokoh-tokoh di buku ini telah membuktikannya, mereka yang hendak lari dari kenyataan seperti Coupeau, pada akhirnya malah terpuruk lebih dalam daripada bila ia tetap berjuang, meski mungkin juga tak pernah menjadi kaya. Aku salut pada tokoh Goujet, seorang pekerja yang bangga pada pekerjaannya dan sama sekali tak menyentuh minuman keras. Sayang sekali, Gervaise yang tinggi hati harus menampik tawaran pria itu untuk hidup bersamanya.

Tak banyak yang dapat aku ungkapkan tentang buku ini, selain bahwa buku ini benar-benar membuatku tersentak…shock mungkin lebih tepat. Bukan hanya kemiskinan yang ekstrem dan kelaparan itu sendiri yang mengusik nuraniku, namun juga pengabaian mereka yang sebenarnya sama-sama miskin. Aku tak habis pikir, mengapa mereka harus membenci Gervaise? Apakah karena Gervaise pernah mendaki ke tingkat yang lebih tinggi dari mereka? Ah…tapi toh sekarang ia terlontar jatuh karena kesombongannya itu kan? Bukankah ia telah membayarnya dengan menjadi lebih miskin dari mereka semua? Lalu mengapa mereka semua—alih-alih menghibur dan mendampingi—seolah hanya menonton dari jauh bagaimana Gervaise ‘rotten to death’?

Menurutku Zola bukan saja memaksa kita memahami tentang kemiskinan dan kesombongan, namun juga menyadarkan kita akan sikap kita sendiri terhadapnya. Aku bangga terhadap Gervaise, yang meski sudah nyaris mati kelaparan, namun masih menyisakan keprihatinan bagi seorang anak korban penyiksaan ayahnya, bahkan berusaha membelanya. Ya…Gervaise memang memiliki kelemahan dan melakukan kesalahan, namun ia juga telah menebusnya dengan penderitaan dan cintanya pada sahabat-sahabatnya.

Kalau anda mengharapkan cerita yang menghibur, jangan membaca buku ini. Karena Zola menuliskan kisah ini senyata-nyatanya. Bahkan gaya bahasanya meminjam gaya bahasa slank yang digunakan para pekerja. Kemiskinan digambarkan olehnya dengan begitu gamblang, tanpa pemanis, tanpa hiasan. Memang itulah ciri khas tulisan Zola yang naturalis. Sudah dua kali aku membaca karya Zola, dan dua kali pula aku tersentak. Karya Zola memang akan selalu mengesan, tapi bukan dengan cara yang biasa. Seperti yang dikatakan Zola sendiri tentang buku ini dalam prakata:

I wanted to depict the inexorable downfall of a working-class family in the poisonous atmosphere of our industrial suburbs. Intoxication and idleness lead to a weakening of family ties, to the filth of promiscuity, to the progressive neglect of decent feelings and ultimately to degradation and death. It is simply morality in action.

Lima bintang untuk L’Assommoir!

*Review ini kubuat bertepatan dengan—dan sebagai hadiah—ulang tahun Émile Zola yang ke 172 (2 April 1840 – 2 April 2012). Happy birthday Mr. Zola! And thank you for your unique and remarkable writing.*

Judul: L’Assommoir
Penulis: Émile Zola
Penerbit: Oxford University Press
Terbit: 2009
Tebal: 440 hlm

1 komentar:

  1. huh, jadi semakin penasaran sama buku ini. Salam kenal dulu ya?

    BalasHapus